Home > Keuangan Shariah > Parkir Dana Haji

Parkir Dana Haji

Ali Rama

Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Setiap tahun terdapat lebih dari 200 ribu Muslim Indonesia menunaikan ibadah haji. Umat Islam Indonesia yang sekitar 80 persen dari 240 juta penduduk pasti berkeinginan minimal sekali dalam seumur hidup menunaikan ibadah haji. Dorongan masyarakat menunaikan ibadah haji bukan hanya lantara ia bagian dari pada rukun Islam tapi menunaikan ibadah yang sekali dalam setahun ini memberikan pengalaman spiritual yang lebih dibandingkan dengan rukun-rukun Islam lainnya.

Kewajiban ibadah haji hanya dikhususkan bagi mereka yang memeliki kemampuan ekonomi khususnya yang dapat membayar ongkos naik haji (ONH). Sebagaimana diketahui bahwa terjadi peningkatan pendapatan per kapita di tanah air. Hal ini secara otomatis meningkatkan permintaan untuk menunaikan ibadah haji setiap tahun. Indikator ini terlihat pada daftar antrian yang harus menunggu 10 tahun agar dapat naik haji. Kondisi inilah yang menjadikan ritual ibadah haji memiliki potensi ekonomi yang sangat menggiurkan.

Sementara itu, nilai ekonomi haji secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran “Tidak ada salahnya kalian mencari karunia dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masya’aril Haram dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu. Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” (al-Baqarah: 198). Makna “mencari karunia dari Tuhanmu” bisa diartikan sebagai berdagang. Dalam artian, jutaan Muslim yang berkumpul di tanah suci secara otomatis akan mengundang munculnya pedagang-pedangan yang menyediakan kebutuhan para jama’ah haji tersebut, baik yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji maupun yang tidak berkaitan. Tentunya, negara Arab Saudilah yang paling banyak menikmati keuntungan ekonomi ibadah haji melalui dengan arus kunjungan yang mencapai jutaan Muslim setiap tahun ditambah lagi dengan kunjungan umrah yang bisa terjadi di luar jadwal haji yang jumlahnya tidak kalah banyak.

Dalam konteks Indonesia, potensi ekonomi haji salah satunya terletak pada total dana haji yang dikelola oleh Kemenag (Dirjen Haji) yang mencapi sekitar Rp 43 triliun. Dana fantastik ini berasal dari pesanan seat panjang antrian yang saat ini sudah sekitar 10 tahun. Artinya, bagi mereka yang ingin menunaikan haji, baru bisa berangkat setelah 10 tahun dari pemesanan seat-nya.

Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2012, biaya rata-rata penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) tahun 2012/1433 H sebesar 3.617 dolar AS atau setara dengan Rp 33,3 juta per orang. Besaran ini naik 84 dolar AS dibandingkan dengan BPIH tahun 2011, yaitu 3.533 dolar AS (Rp 32,5 juta). Kenaikan ini disebabkan biaya haji ditetapkan berdasarkan harga pasar yang berlaku, nilai tukar rupiah atas dolar, biaya tiket pesawat, biaya sewa pemondokan, dll.

Di sisi lain, daftar calon jamaah haji Indonesia yang masuk dalam daftar tunggu mencapai sekitar 1,9 juta orang. Dan tidak menutup kemungkinan jumlah daftar tunggu ini akan semakin bertambah seiring dengan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia yang semakin bertambah.

Pertanyaannya adalah kemana dana haji yang puluhan triliun itu diparkir? Apakah dana haji itu dikelolah dan diparkir di tempat yang sesuai dengan ajaran Islam dan apakah keuntungan dari penempatan dana haji itu dikembalikan kepada para jamaah haji?

Saat ini dana haji yang mencapai sekitar Rp 43 triliun disimpan dalam bentuk Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) yang mencapai Rp 35 triluin yang dititipkan ke Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU). Sementara sisanya sebesar Rp 8 triliun diparkir diperbankan dengan komposisi Rp 6 triliun di bank konvensional (75%) dan Rp 2 triliun di bank Syariah (25%). Porsi perbankan syariah ini lebih sedikit dari rekomendasi pemerintah (30%) dan DPR (40%).

Anggito Abimayu yang berlatar belakang ekonomi yang ditunjuk menjadi Direktur Haji dan Umroh Kemenag diharapkan dapat mengelola triliunan dana haji tersebut secara baik, sesuai dengan syariat dan untuk kepentingan jamaah haji sendiri. Sebagaimana diungkapkannya bahwa selama ini dana haji tersebut sekedar dititipkan saja ke DJPU tanpa di-back up oleh proyek yang jelas yang dapat menciptakan pendapatan dan sebagainnya juga lebih banyak dititip di bank konvensional. Lebih menyedihkannya lagi bahwa dana haji tersebut menjadi komoditas bisnis oleh pihak tertentu. Menurut Fitra terdapat sekitar Rp 806 miliar dari anggaran Dana Abadi Umat yang diinvestasikan oleh Kementerian Agama yang harus dikembalikan kepada jamaah haji.

Ada rencana ke depannya dana haji akan dikonsentrasikan ke perbankan syariah dan sukuk berbasis proyek sehingga akan memberikan nilai manfaat. Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan syariah memang paling tepat untuk mengelola dana haji tersebut dibandingkan dengan bank konvensional. Dana umat tersebut sudah sepatutnya dikelola secara syariah dan berkontribusi pula dalam mengembangkan perbankan syariah tanah air. Jika dana haji tersebut diparkir di bank syariah secara otomatis akan dialirkan kembali ke masyarakat melalui pembiayaan sektor riil yang selama ini menjadi ciri khas dari bank syariah. Rasio pembiyaan terhadap dana pihak ketika rata-rata hampir mencapai 100 persen selama 5 tahun terakhir. Artinya dana-dana yang masuk ke bank syariah diputar kembali ke sektor riil melalui berbagai bentuk pembiayaan yang sesuai dengan syariah

Data BI per Agustus 2012, aset perbankan syariah sudah mencapai Rp 167 triliun atau sekitar 4,27 persen dari total aset perbankan nasional. Pertumbuhan aset perbankan syariah sekitar 40 persen per tahun. Dengan dijadikannya perbankan syariah sebagai pengelola dana haji dari pada bank konvensional akan semakin memperkuat permodalan bank syariah untuk membiayai sektor produktif yang umumnya berhubungan dengan sektor Usaha Kecil dan Menengah. Tentunya bank syariah harus berbenah diri jika sekiranya nanti mendapatkan limpahan dana haji dalam porsi yang besar melalui penciptaan instrumen atau produk yang bisa digunakan investasi. Bank syariah dapat memaksimalkan kantor-kantor cabang konvensional melalui strategi office channeling untuk menjangkau para calon jamaah haji yang tersebar di pelosok Indonesia untuk mengakses layanan tabungan atau investasi haji haji.

Selanjutnya, seharusnya undang-undang penyelenggaraan haji perlu memasukkan klausal pengelolaan dana haji sepenuhnya dikelolah oleh bank syariah dan bukan bank konvensional.

Tulisan ini diterbitkan di Opini Republika, 22/10/2012

Categories: Keuangan Shariah
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment